Senin, 15 Maret 2010

Wanita Ideal Masa Kini

1 komentar

Wanita

CITRA ideal wanita Indonesia masa kini memang belum ada pembakuan yang pasti. Dengan kata lain, citra ideal yang muncul masih sangat beragam, tumpang tindih, bahkan simpang siur. Tidak ada keseragaman dan kesepakatan konseptual ikhwal citra ideal wanita zaman modern ini.

Yang terjadi adalah bahwa para wanita menjalani peran sosialnya secara improvisatoris. Tak jarang, mengikuti pola-pola yang sedang dominan dan menjadi acuan banyak orang. Hal ini tentu saja sekadar reaksi dari tiadanya pembakuan citra ideal wanita masa kini. Semuanya serba reaktif, dan tanpa perencanaan yang jelas, untuk tidak menyebut ngawur.

Tradisional dan Modern

Di kota-kota besar misalnya, peran ideal wanita yang dibangun secara sosial adalah menjadi bagian dari peran-peran modernisasi dan ekonomisasi. Dengan kata lain, wanita akan disebut ideal jika dia berkarier akibat dibentuk oleh atmosfir kebudayaan kota yang dipengaruhi oleh nilai-nilai modernisme dan kapitalisme.

Hal itu jelas berbeda dengan konsepsi ideal di kawasan kota-kota kecil atau di pedesaan. Pandangan kuno yang menyebutkan peran wanita konco wingking (teman di belakang) masih dominan dan menjadi acuan tunggal bagi wanita yang lahir, tumbuh, dan besar di kawasan ini. Bagi mereka, menjadi wanita ideal adalah menjadi wanita yang tidak terlalu berpikir serius soal pekerjaan, karier, dan sejenisnya.

Wanita ideal dalam versi masyarakat tradisional adalah menjadi bagian sistem kebudayaan kolot yang menempatkan wanita sebagai komponen rumah tangga yang berperan sebagai "teman bagi pria". Sebagai teman, dirinya tidak boleh menonjol, apalagi menjadi pemeran utama, yaitu pria. Kalaupun para wanita harus mencari nafkah, itu semata karena kondisi yang memaksa. Itu hanya sekunder.

Idealnya, di mata para kaum tradisionalis, wanita itu sebaiknya tetap di rumah, mengurus suami dan anak. Wanita tidak boleh terlalu terpesona oleh tawaran modernisme dan kapitalisme yang dapat memberinya peran dalam mekanisme kebudayaan tersebut.

Dua Citra Ideal

Apabila dicermati, pada dasarnya kaum wanita masa kini menghadapi masa transisi yang lumayan panjang dalam kaitan pemenuhan citra idealnya sebagai wanita. Di satu sisi, ada tawaran untuk mengarungi arus modernisme dengan segala dinamikanya cenderung mempesona. Di sisi lain, peran tradisional yang dibakukan selama berabad-abad dan sudah melembaga dalam kebudayaan, menawarkan romantisme akan peran wanita yang luhur, yaitu menjadi ibu rumah tangga.

Dua citra ideal yang saat ini diperhadapkan kepada kaum wanita itu terus saja membayang-bayangi langkah mereka. Hal ini menjadi lebih terasa ketika seorang wanita berada di tengah-tengah struktur mobilitas sosial, misalnya sedang menempuh pendidikan tinggi.

Adalah jelas bahwa, perguruan tinggi sebagai bagian dari institusi modern merupakan tangga suatu mobilitas sosial. Para wanita yang masuk di dalamnya hampir dapat dipastikan memperoleh semacam tiket untuk mengakses struktur sosial yang lebih tinggi, entah itu pekerjaan, prospek ekonomi, presentasi, dan prestise (gengsi). Tidak semua wanita beruntung dapat masuk ke perguruan tinggi. Ini berarti, tak semua wanita bisa punya tiket untuk mengakses struktur kemoderenan. Dan justru di sinilah letak masalahnya. Di satu sisi mereka punya peluang untuk menjadi wanita hebat, wanita perkasa yang dapat mandiri secara sosial ekonomi. Tetapi di sisi lain, mereka juga merasa khawatir dengan peran-peran lama yang ditawarkan oleh romantisme kebudayaan tradisional. Akankah mereka bisa menjadi wanita ideal dengan mengacu kepada modernisme melulu ?

Ada gejala di Indonesia, terutama di kota-kota besar, kaum wanita mulai banyak yang mempertanyakan (menggugat) konsepsi citra ideal wanita masa kini. Benarkah menjadi wanita ideal itu mesti berkarier dan mencari nafkah? Itulah tema yang saat ini mulai menyentak kesadaran kaum wanita yang masuk dalam dunia modern dengan segala pesonanya yang begitu menjanjikan dan, kadang-kadang, memabukkan.

Kisah seorang wanita karier stres karena tidak menikah pada usia senja, rasanya sudah klasik. Kendati demikian, ini memang menjadi suatu masalah paling serius yang dihadapi para wanita modern yang sudah memastikan diri terjun menjadi wanita karier. Di hadapannya terbentang masalah besar: apakah dia harus memihak karier, dan mengesampingkan segala tuntutan tradisional bahwa seorang wanita mesti menikah dan melahirkan keturunan.

Pembalikan

Di negara-negara maju yang mempraktekkan kebudayaan modern, belakangan ini mulai terjadi pembalikan idealisasi peran wanita. Jika dalam beberapa dekade yang lalu seorang wanita yang berkarier dan sukses meniti pekerjaannya dianggap sebagai simbol wanita ideal, namun saat ini simbol itu mulai mencair. Para wanita berbondong-bondong mulai meminati peran-peran tradisional yang selama ini mereka singkirkan.

Indikasinya, banyak wanita yang ingin menjadi ibu rumah tangga yang baik dalam pengertiannya yang paling tradisional: melayani suami dan anak. Mereka ingin memiliki rumah tangga yang harmonis. Mereka menginginkan peran sebagai istri dan ibu rumah tangga secara sepenuh hati dan bersedia meninggalkan sama sekali ambisi-ambisinya untuk berkarier dan semacamnya. Inilah yang kini marak di Eropa, Amerika, Jepang, dan negara lainnya.

Kecendrungan semacam itu tentu saja agak "aneh", apalagi bagi masyarakat yang belum masuk dalam proses modernisme secara total. Fenomena itu dibilang semacam kemunduran. Memang pandangan semacam itu sah-sah saja. Tetapi satu hal yang jelas, masyarakat Barat yang menjadi pusat gerakan emansipasi wanita, akhir-akhir ini mulai meninggalkan gagasan-gagasan ekstrim yang mencoba menempatkan wanita sebagai "sosok perkasa".

Faktanya, saat ini angan-angan (kalau tidak dapat dikatakan cita-cita) ibu rumah tangga merupakan fantasi obsesif yang menggejala di kalangan wanita Barat, terutama para gadis remaja. Mereka melihat kecendrungan prilaku wanita karier yang hanya mengejar prestasi sosial ekonomi sebagai suatu gejala yang menyimpang. Oleh karena itu, mereka ingin mengembalikan peran wanita tradisional, yakni sebagai istri dan ibu rumah tangga. Sebab dalam peran itulah mereka akan menemukan sensasi kehidupan sebagai seorang wanita.

Butuh Pembakuan

Kembali kepada masalah citra ideal wanita Indonesia masa kini, rasanya memang diperlukan semacam pembakuan konsepsi yang bisa dijadikan acuan umum bagi kalangan wanita. Sudah barang tentu, acuan yang dimaksud tidak untuk membatasi gerak kaum wanita dalam melakukan pemilihan peran dan sikap yang harus diambilnya.

Konsepsi ideal tentang citra diri itu kalau bisa hanya merupakan suatu benang merah yang bisa dijadikan acuan fleksibel bagi kalangan wanita agar tidak terlalu bimbang atau kebingungan dalam menghadapi derap kehidupan sosial budaya yang dari hari ke hari kian dinamis dan dengan ritme tinggi tersebut.

Pada titik itu, sebenarnya yang menjadi soal adalah bagaimana kaum wanita sendiri mampu melakukan pemilihan secara sadar dan tanpa keraguan dan mengerti atas konsekuensi keputusannya. Di sini, yang dipentingkan adalah upaya menghindarkan sikap latah atau gaya improvisasi dalam menyikapi kehidupan. Ini tidak mengada-ngada. Sebab, adakah di antara kita yang berani menjamin bahwa maraknya hasrat kaum Hawa untuk menjadi wanita karier bukan merupakan sikap latah tanpa dasar ?

Bagaimanapun, pembakuan citra ideal Indonesia zaman ini kian mendesak untuk dilakukan. Tujuannya hanya satu, yaitu tadi: menjadi semacam benang merah yang dapat dijadikan acuan para wanita untuk memutuskan pilihan yang terbaik bagi dirinya tanpa rasa ragu dan bimbang yang berlebihan. Semua keputusan diambil secara sadar sepenuhnya, bukan sekadar kelatahan yang tidak memiliki dasar. Betapapun, kelatahan tanpa dasar hanya akan menghasilkan kekecewaan pada waktu yang akan datang. Source: www.gky.or.id